Manusia Dan Keadilan




Teori

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran". Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di dunia yang adil". Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya.

HUKUM INDONESIA BELUM BERIKAN KEADILAN PADA KAUM TERTINDAS
Artikel

VHRmedia, Jakarta - Hukum Indonesia dinilai belum mampu memberikan keadilan kepada masyarakat yang tertindas. Justru sebaliknya, hukum menjadi alat bagi pemegang kekuasaan untuk bertindak semena-mena.

Demikian pernyataan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Asep Yunan Firdaus dalam seminar "Stagnasi Hukum di Indonesia" di Jakarta, Kamis (5/8). "Dalam situasi seperti ini, hukum sedang berada pada kondisi stagnan yaitu, situasi dimana negara gagal menjadikan sistem dan praktik hukum memberikan keadilan kepada masyarakat miskin dan paling tertindas."

HuMa memandang ada tujuh faktor utama yang menyebabkan stagnasi hukum di Indonesia. Pertama, politik dan arah pembaruan hukum yang elitis. Kedua, kualitas legislasi nasional dan daerah yang rendah. Ketiga, penegakan hukum yang sarat korupsi dan melahirkan mafia hukum. Keempat, lembaga peradilan tidak mewujud menjadi agen dan ujung tombak pembaharuan hukum. Sementara itu yang kelima dikatakan bahwa, Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of the Constitution lebih banyak dimanfaatkan oleh kelompok elit. Sedangkan yang keenam huma menyebutkan, pendidikan hukum yang bergeser orientasinya menjadi pelayan pasar.

"Terakhir, ketidakmampuan institusi hukum dan pemerintah menyelesaikan konflik yang melibatkan rakyat banyak dan miskin dengan cara-cara yang memenuhi rasa keadilan rakyat," ujar Asep.

Menurut Asep, politik dan arah pembaharuan hukum di Indonesia cenderung elitis. Karena agenda-agenda pembaharuan hukum sejatinya masih state centered maupun imposed by international organization yang memiliki akses terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif.

Pada ranah legislasi, DPR bukan hanya mampu memenuhi 68% target pembahasan RUU dan kualitasnya pun banyak yang kontroversial, seperti Undang-undang Informasi  dan Transaksi Elektronik (UU ITE), UU Pornografi, UU Investasi, dan sebagainya. Selain itu, dalam penegakan hukum juga tidak lepas dari jual beli pasal (legal commodification) dan suburnya mafia hukum (broker/makelar). 

"Penegakan hukum tidak bertarung menghadapi kejahatan kerah putih  seperti kasus BLBI, Century, lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, pembalakan liar, dan penggusuran tanah masyarakat. Sebaliknya, penegakan hukum begitu tegas terhadap Nenek Minah, Manisih, Toro dan Pori, Lanjar dan Masyarakat Samin," kata Asep.

Sementara itu Koordinator Eksekutif LC HuMa, Mirna Safitri menambahkan, penegakan hukum di Indonesia seperti mata tombak yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Misalnya Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi, cenderung lebih banyak absen dalam agenda pembaharuan hukum. MA tidak hadir sebagai pemimpin dan motor penggerak pembaharuan hukum di Indonesia. Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK), justru lebih banyak dimanfaatkan oleh Politikus dan Elit.

Dari penelitian atas 478 putusan MK, setidaknya pemohon dari kalangan partai politik berjumlah 232 (48,5%), disusul kelompok elit/melek hukum berjumlah 205 (42,8%) dan sisanya 6,4% adalah permohonan yang diajukan oleh publik (rakyat yang didukung oleh LSM, Lembaga Perguruan Tinggi/Mahasiswa, Lembaga Keagamaan, Lembaga Tradisional).

Ditambahkan oleh Mirna, kacau balaunya tatanan hukum di Indonesia juga didorong oleh kecenderungan Pendidikan Tinggi Hukum (PTH) tidak memiliki perspektif keadilan sosial ke dalam kurikulumnya. Otonomi PTH lebih banyak mendorong penyediaan lulusan sesuai keinginan pasar.

"Jika faktor penyebab stagnasi hukum tidak segera dicarikan jalan keluarnya, dimana sistem dan praktik hukum kita tidak akan lagi mampu memberikan keadilan kepada rakyat miskin dan tertindas, maka stagnasi ini akan berujung pada kematian negara hukum Indonesia," kata Mirna.

http://www.vhrmedia.com/Hukum-Indonesia-Belum-Berikan-Keadilan-Pada-Kaum-Tertindas-berita5181.html


Opini :

Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa arah dan pembaharuan hukum Indonesia cenderung elitis. Maksud elitis disini hukum di Indonesia cenderung memihak pada kaum elite dan kaya saja. Sedangkan untuk kaum marjinal atau miskin sering kali diperlakukan secara tidak adil ketika menjalani proses hukum di negeri ini. Seperti contoh kasus korupsi dan suap yang melibatkan pejabat negeri ini dan pegawai perpajaka dan penggelapan dana BLBI Century. Kasus Bank Century yang menggelapkan dana nasabah bank tersebut hingga miliaran rupiah menjadi contoh penyimpangan keadilan di Indonesia. Hal ini terlihat ketika  Tersangka kasus penggelapan dana nasabah bank century, Malinda Dee bisa bebas berkeliaran di negeri bahkan luar negeri ini. Bahkan ia bisa bebas bertransaksi untuk menggunakan uang haramnya tersebut untuk membeli kendaraan mewah. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa hukum di Indonesia masih belum kuat atau mudah disuap, sehingga penanganannya terbilang sangat lambat.

Lalu kasus lainnya seperti lumpur lapindo yang merugikan masyarakat Sidoarjo baik berupa harta dan jiwa. Pihak perusahaan yang seharusnya bertanggung jawab atas kejadian itupun enggan bertanggung jawab dan berdalih bahwa kejadian tersebut merupakan tragedi alam sehingga perusahaan tersebut bisa lepas tanggung jawab atas kejadiaan itu. Lalu kasus suap perpajakan yang dilakukan oleh Gayus Tambunan. Kasus ini sangat terkenal karena saat Gayus sudah tertangkap dan telah ditahan di penjara, secara mengejutkan Gayus muncul dalam suatu pertandingan Tenis Di Bali. Hal ini menandakan pertanyaan, kenapa Gayus bisa bebas keliling Indonesia saat ia dipenjara?. Menurut saya, penjaga yang menjaga Gayus dipenjara telah berkonspirasi dengan Gayus dengan upah sejumlah uang besar agar Gayus  bisa bebas keluar penjara kapan saja.

Bandingkan dengan kasus nenek Minah yang mencuri sebuah coklat ditindak tegas dan mendapat hukuman berat dari hakim. Padahal yang ia curi hanya sebuah coklat yang harganya bisa dibilang tidak ada apa-apanya dibanding dengan kasus korupsi di Indonesia dan hanya merugikan satu pihak saja. Lalu banyak kasus pencurian lainnya seperti maling ayam, maling jemuran dan lain sebagainya. mereka semua dihukum berat dan sempat terancam nyawanya oleh amukan massa. Sementara tersangka korupsi? Mereka dengan enaknya menyuap alat hukum Indonesia sehingga bisa bebas dari hukuman dan berkeliran di Indonesia.

Jadi, Kesimpulannya adalah keadilan di Indonesia masih bisa dibeli dengan uang.
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati