Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Definisi Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" d Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
Pengertian kebudayaan
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
Terkait dengan teori yang dijelaskan di atas, berikut contoh artikel terkait dengan salah satu unsur atau bentuk kebudayaan tersebut :
Bangkitkan Kembali Budaya Ramah Tamah
Oleh: Zakina, S.Sos. MSi.
Kasubbag Pers dan Peliputan Humas Pemkab-Belitung
"Nilai-nilai kearifan lokal dan kultur Belitong sangatlah sarat dengan keramah-tamahan, sopan-santun, dan budaya konteks tinggi lewat tradisi “begalor”, “becangek” dan “bekelakar” yang mampu mencairkan segala suasana.Kita tentu ingin nilai-nilai luhur tersebut tidak terserabut dari akarnya"
PASCA reformasi banyak hal yang berubah. Aksi anarkis, teror, demonstransi cacat sopan santun, kekerasan komunal dan sosial serta segudang degradasi moral lainnya menjadi tontonan hari-hari. Bahkan aksi teror bom yang dilakukan sekelompok orang tidak berperikemanusiaan mengancam kapan dan dimana saja. “Smiling people” yang menjadi ciri khas bangsa ini seakan berubah menjadi pembunuh berdarah dingin. Apalagi setelah beberapa rangkaian bom meledak di beberapa kota besar di Indonesia yang menewaskan wisatawan mancanegara, seperti di Legian dan Jimbaran Bali selang beberapa tahun lalu.
Kesan dan image negatif Indonesia dibingkai sedemikian rupa oleh media asing sehingga terbentuk opini publik secara pasti bahwa begitulah Indonesia. Tak pelak, investasi dari luar sempat menurun ditambah lagi konflik politik antar elit yang tidak berkesudahan, dan korupsi yang merajalela membuat daftar negatifitas citra Indonesia semakin panjang.
Kita seakan tak mampu berbicara banyak. Boleh jadi kita memang bukan lagi negeri yang orang-orangnya ramah. Fakta kecilnya, setiap diri kita boleh bertanya seberapa sering kita menyapa dengan senyum tulus pada setiap orang yang kita temui. Seberapa besar keramahan kita ketika berjumpa orang-orang baru yang bertandang ke daerah kita. Seberapa ramahnya kita pada tamu-tamu yang datang ke kantor untuk menanyakan sesuatu, kepada masyarakat yang meminta pelayanan padahal sejatinya siapapun dan apapun profesinya, kita adalah pelayan.
Kesamaan dan kedekatan memang baru akan semakin terasa ketika kita berada dalam ruang yang besar sehingga tingkat peluang semakin kecil. Ketika peluang itu muncul maka akan semakin bernilai harganya. Inilah kira-kira logika yang dapat digunakan untuk menerangkan peristiwa yang saya alami.
Sebenarnya apapun ragam bentuk identitas yang kita miliki akan demikianlah muaranya. Seseorang bisa memiliki lebih dari satu identitas berdasarkan ragam latar belakang kehidupan, asal-usul, agama, daerah, suku, bangsa, profesi dan sebagainya. Dua orang petani yang terdampar di pulau nelayan akan merasa kedekatan yang sangat ketika bertemu karena hanya mereka berdua yang berprofesi sama di tempat itu, begitulah seterusnya.
Semisal sebagai urang Belitong, tentunya akan semakin dekat dengan urang Belitong lainnya ketika berada di daerah atau negara lain.
Dan mestinya harus semakin dekat lagi jikalau masih berada dalam satu komunitas dan wilayah yang sama, di Satu Pulau Belitong. Kini, menjelang peringatan Hari Jadi Kota Tanjungpandan ke-173 alangkah indahnya bila kita rekatkan kembali tali silaturahim sebagai sesama keluarga “perenggu urang Belitong”. Nilai-nilai kearifan lokal dan kultur Belitong sangatlah sarat dengan keramah-tamahan, sopan-santun, dan budaya konteks tinggi lewat tradisi “begalor”, “becangek” dan “bekelakar” yang mampu mencairkan segala suasana.
Kita tentu ingin nilai-nilai luhur tersebut tidak terserabut dari akarnya. Budayakan saling tegur sapa dengan siapa saja dihiasi senyum manis, ramah tamah. Jangan sampai modernisasi mengalahkan kita. Jangan sampai teknologi dan ilmu pengetahuan menjadi dewa, sementara kita menjadi budak karena faktanya tidak sedikit dari kita atau sebagian anak muda yang enggan berkelakar dengan “sedare” (sanak keluarga) hanya karena asyik bermain play station di kamarnya.
Menjelang HJKT Tanjungpandan ke-173 mari bangkitkan budaya luhur daerah kita, yang ramah dan sopan. Apalagi tiga tahun terakhir ini Belitung sangat gencar mempromosikan pariwisatanya. ***
Kasubbag Pers dan Peliputan Humas Pemkab-Belitung
"Nilai-nilai kearifan lokal dan kultur Belitong sangatlah sarat dengan keramah-tamahan, sopan-santun, dan budaya konteks tinggi lewat tradisi “begalor”, “becangek” dan “bekelakar” yang mampu mencairkan segala suasana.Kita tentu ingin nilai-nilai luhur tersebut tidak terserabut dari akarnya"
PASCA reformasi banyak hal yang berubah. Aksi anarkis, teror, demonstransi cacat sopan santun, kekerasan komunal dan sosial serta segudang degradasi moral lainnya menjadi tontonan hari-hari. Bahkan aksi teror bom yang dilakukan sekelompok orang tidak berperikemanusiaan mengancam kapan dan dimana saja. “Smiling people” yang menjadi ciri khas bangsa ini seakan berubah menjadi pembunuh berdarah dingin. Apalagi setelah beberapa rangkaian bom meledak di beberapa kota besar di Indonesia yang menewaskan wisatawan mancanegara, seperti di Legian dan Jimbaran Bali selang beberapa tahun lalu.
Kesan dan image negatif Indonesia dibingkai sedemikian rupa oleh media asing sehingga terbentuk opini publik secara pasti bahwa begitulah Indonesia. Tak pelak, investasi dari luar sempat menurun ditambah lagi konflik politik antar elit yang tidak berkesudahan, dan korupsi yang merajalela membuat daftar negatifitas citra Indonesia semakin panjang.
Kita seakan tak mampu berbicara banyak. Boleh jadi kita memang bukan lagi negeri yang orang-orangnya ramah. Fakta kecilnya, setiap diri kita boleh bertanya seberapa sering kita menyapa dengan senyum tulus pada setiap orang yang kita temui. Seberapa besar keramahan kita ketika berjumpa orang-orang baru yang bertandang ke daerah kita. Seberapa ramahnya kita pada tamu-tamu yang datang ke kantor untuk menanyakan sesuatu, kepada masyarakat yang meminta pelayanan padahal sejatinya siapapun dan apapun profesinya, kita adalah pelayan.
Kesamaan dan kedekatan memang baru akan semakin terasa ketika kita berada dalam ruang yang besar sehingga tingkat peluang semakin kecil. Ketika peluang itu muncul maka akan semakin bernilai harganya. Inilah kira-kira logika yang dapat digunakan untuk menerangkan peristiwa yang saya alami.
Sebenarnya apapun ragam bentuk identitas yang kita miliki akan demikianlah muaranya. Seseorang bisa memiliki lebih dari satu identitas berdasarkan ragam latar belakang kehidupan, asal-usul, agama, daerah, suku, bangsa, profesi dan sebagainya. Dua orang petani yang terdampar di pulau nelayan akan merasa kedekatan yang sangat ketika bertemu karena hanya mereka berdua yang berprofesi sama di tempat itu, begitulah seterusnya.
Semisal sebagai urang Belitong, tentunya akan semakin dekat dengan urang Belitong lainnya ketika berada di daerah atau negara lain.
Dan mestinya harus semakin dekat lagi jikalau masih berada dalam satu komunitas dan wilayah yang sama, di Satu Pulau Belitong. Kini, menjelang peringatan Hari Jadi Kota Tanjungpandan ke-173 alangkah indahnya bila kita rekatkan kembali tali silaturahim sebagai sesama keluarga “perenggu urang Belitong”. Nilai-nilai kearifan lokal dan kultur Belitong sangatlah sarat dengan keramah-tamahan, sopan-santun, dan budaya konteks tinggi lewat tradisi “begalor”, “becangek” dan “bekelakar” yang mampu mencairkan segala suasana.
Kita tentu ingin nilai-nilai luhur tersebut tidak terserabut dari akarnya. Budayakan saling tegur sapa dengan siapa saja dihiasi senyum manis, ramah tamah. Jangan sampai modernisasi mengalahkan kita. Jangan sampai teknologi dan ilmu pengetahuan menjadi dewa, sementara kita menjadi budak karena faktanya tidak sedikit dari kita atau sebagian anak muda yang enggan berkelakar dengan “sedare” (sanak keluarga) hanya karena asyik bermain play station di kamarnya.
Menjelang HJKT Tanjungpandan ke-173 mari bangkitkan budaya luhur daerah kita, yang ramah dan sopan. Apalagi tiga tahun terakhir ini Belitung sangat gencar mempromosikan pariwisatanya. ***
Editor : dedypurwadi
Source : bangkapos.com
sumber : http://bangka.tribunnews.com/mobile/index.php/2011/06/22/bangkitkan-kembali-budaya-ramah-tamah
Artikel tersebut menjelaskan salah satu kebudayaan Indonesia yang mulai menghilang yaitu Ramah tamah. Saya sendiri memiliki pendapat tentang budaya ramah tamah.
Sebagai warga indonesia, saya merasa budaya ramah tamah yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia ini harus terus kita pelihara. Karena dengan memelihara budaya ramah tamah ini, setiap warga di Indonesia akan terjaga dari sifat negatif seperti kesombongan, keangkuhan, kesenjangan sosial, dan perilaku negatif lainnya. Contohnya yang sering terjadi di Indonesia adalah ketika seorang konglomerat atau manusia kalangan atas/elite yang suka menindas kaum marjinal atau kelas bawah. Mereka berperilaku sesuka hatinya dengan menindas pembantunya, menjual harga dirinya, bahkan menampilkan kekayaan secara angkuh di hadapan kaum miskin. Hal ini tentu saja berbanding terbalik dengan budaya ramah tamah yang diajarkan oleh nenek moyang kita, budaya ramah tamah yang identik dengan ketulusan, keikhlasan, keceriaan, dan sopan santun.
Pada artikel di atas dijelaskan suatu kasus bahwa Indonesia sudah tidak identik lagi dengan penduduk yang berbudaya ramah tamah. Berbagai kasus seperti korupsi wisma atlet di Palembang yang membuat citra para pejabat yang semula dipercayai rakyat untuk membangun negeri ini pun berubah menjadi kebencian dikarenakan sifat keserekahan mereka. Bayangkan saja berapa yang mereka curi dari rakyat Indonesia? Berapa banyak rakyat indonesia yang dibuat sengsara, kelaparan, dan dibodohi karena kasus korupsi ini?
Saya pun setuju dengan penjelasan artikel di atas, Indonesia sudah mengkikis budaya ramah tamahnya. Itu terjadi di masa lalu disaat kasus bom bali, bom di gedung kedubes Australia, kasus bom bermodus paket buku, pemboman gedung Ritz Chaltorn hingga menimbulkan Klub Sepak Bola asal Inggris yang saat itu hendak berkunjung ke Indonesia, Manchester United, Batal berkunjung karena tempat mereka menginap sudah di bom. Dan saya pun yang saat itu sudah mengumpulkan uang untuk membeli tiket nonton langsung pertandingannya gagal memenuhi impian saya untuk bisa menonton langsung klub kesayangan saya. Hal ini tentu saja membuat saya dan warga Indonesia lainnya sangat kecewa. Menurut pendapat saya, kasus teror bom yang selalu menghantui Indonesia disebabkan sifat ego antara pemerintah dan rakyatnya. Pemerintah yang selama ini dijadika rakyat sebagai wadah aspirasinya kurang memperhatikan kondisi rakyatnya. Sehingga rakyat pun memberontak dengan merusak fasilitas umum dengan kasus teror bom. Bukannya memihak siapa-siapa, saya sebagai rakyat Inddonesia hanya memiliki saran, jika memang ada masalah di negri ini yang harus diselesaikan, selesaikan dengan cara yang baik. Libatkanlah rakyat, perlakukanlah rakyat dengan ramah tamah, tinggalkan status sosial, dengar aspirasinya dan Bermusyawarah dengan rakyat sehingga tidak menimbulkan kecurigaan antara pemerintah dan rakyat. Bukannya Indonesia negara Demokrasi?
Untuk itu, marilah kita bangun dan bangkitkan kembali budaya ramah tamah di Indonesia. Berilah salam atau setidaknya menyapa dengan senyum kepada orang di sekitar kita. Dengan menerapkan sifat budaya ramah tamah dalam kehidupan bermasyarakat, tentu saja akan menghilangkan image negatif seperti yang dijelaskan artikel di atas. Saya setuju sifat ramah tamah juga akan selalu melindungi pelakunya ketika berkunjung ke suatu tempat yang memiliki perbedaan budaya. Contohnya ketika orang Sunda berkunjung ke daerah yang mayoritas penduduknya orang minang, mungkin sulit bagi orang sunda untuk berbaur dengan penduduk sekitar. Kana tetapi, dengan menampilkan keramah tamahan, saya jamin orang sunda tersebut akan diterima dengan baik oleh penduduk minang di daerahnya, kenapa? Karena budaya ramah tamah merupakan budaya Indonesia yang dapat menyatukan seluruh suku bangsa Indonesia. Yang mana hal tersebut akan berguna untuk ketentraman bangsa ini, hingga pada akhirnya tidak ada kecurigaan diantara kita sebagai rakyat Indonesia dan saling memepercayai dan bahu membahu memajukan bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Amin!
Leave a comment